Saturday 6 December 2014

Tafsiran Surat al-Baqarah: 62 Menurut al-Qurthubi, Thabathaba’i, Hasbi ash-Shiddieqy, Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir.

       I.            PENDAHULUAN
Al-quran adalah sumber hukum  bagi umat manusia selain hadist dalam menunjukkan bagaimana sikap kita dalam keseharian. Dalam memahami alquran tentunya semua orang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing, begitu juga seorang mufasir dalam menafsirkan al-quran sesuai dengan keahlian mereka dalam bidangnya tidak menutup kemungkinan tafsir tersebut akan condong kepada keahlian mufasir tersebut.
Dalam kesempatan ini pemakalah mencoba menjelaskan tafsir tentang ayat ibadah dalam surat al-baqarah: 62 dengan menggunakan berbagai macam tafsir diantarannya, tafsir al-qurthubi, al-mizan, madjid an-nur, fi dzilalil quran dan ibnu katsir dari berbagai macam tafsir tersebut banyak memiliki perbedaan dan berbagai macam pemikiran dalam memaknai ayat. Semoga menjadikan kita semua menambah wawasan baru dan bisa membuka cakrawala keilmuan agar selalu berkembang menjadi yang lebih baik.
    II.            POKOK PEMBAHASAN
A.    Asbab al-Nuzul Surat al-Baqarah: 62
B.     Tafsiran Surat Menurut al-Qurthubi, Thabathaba’i, Hasbi ash-Shiddieqy, Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir.
 III.            PEMBAHASAN

A.    Asbab al-Nuzul Surat al-Baqarah: 62
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÏËÈ
            Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
            Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dan al-‘Adni dalam musnadnya dari Ibni Abi Najih yang bersumber dari mujahid, bahwa Salman berkata: ”saya pernah bertanya kepada Nabi saw tentang pemeluk agama yang pernah saya anut dan saya pun menerangkan cara sholat dan ibadah mereka. Maka turunlah ayat  innalalladzina aamanuu walladziina haaduu” sampai akhir ayat.
            Dikemukakan oleh al-Wahidi dari Abdillah bin Katsir dari Mujahid, berkatalah ia: ”ketika Salman menceritakan teman-temannya kepada Rasulullah saw, lalu bersabdalah beliau: ”mereka semua dineraka”. Berkatalah Salman: ”seakan-akan bumi gelap gulita bagiku, namun setelah turun ayat ” innalladzina aamanuu walladziina haaduu” sampai akhir ayat, bumi menjadi terang benderang bagiku”.[1]
B.     Tafsiran Surat Menurut al-Qurthubi, Thabathaba’i, Hasbi ash-shiddieqy, Sayyid Quthb, dan Ibnu Katsir
1.      Menurut al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li ahkam al-quran
Dalam ayat ini dibahas delapan masalah:
Pertama: firman Allah swt, انّ الّذين امنوا “sesungguhnya orang-orang mukmin”. Maknanya adalah yang percaya kepada nabi Muhammad saw. Imam Sufyan berpendapat: orang-orang mukmin pada ayat diatas artinya adalah orang-orang yang munafik, seakan-akan firman Allah swt disini mengatakan: ”sesungguhnya orang-orang yang kelihatannya beriman”. Oleh karena itulah orang-orang yang beriman dalam ayat ini disandingkan dengan orang Yahudi, Nasrani dan para Shabi’in. barulah kemudian menerangkan hukum orang yang beriman kepada Allah swt dan hari kiamat dari semua golongan yang disebut di atas.
Kedua: firman Allah swt, والّذي هادوا” dan orang-orang Yahudi”. Maknanya adalah orang-orang yang mengikuti Yahudi, dan Yahudi adalah sebuah nisbat yang disandarkan kepada seseorang yang benama Yahudza, dan Yahudza ini diyakini sebagai anak tertua dari nabi Ya’kub as. Lalu orang Arab menganti huruf dzal pada nama itu menjadi dal, dengan alasan jika nama asing dijadikan sebuah nama Arab maka lafadznya akan diganti dengan yang terdekat.
Ketiga: firman Allah swt, والنّصرى ”orang-orang Nashrani”. Pada ayat diatas menggunakan kata jamak dari kata Nashrani yang digunakan selain dari Nashaaraa, dan yang paling sering disebut adalah Nashraaniyyun.
Kemudian ada yang berpendapat bahwa mereka dinamakan dengan Nashraniyyun karena mereka dinisbatkan kepada sebuah desa yang bernama naashirah. Desa inilah yang pernah dijadikan tempat tinggal nabi Isa as, dan pernah dinisbatkan kepada desa ini dengan disebut Isa an-Nashiri. Maka ketika para sahabatnya juga dinisbatkan kepada desa ini mereka menyebutnya dengan Nashaaraa. Pendapat ini diutarakan diantaranya oleh ibnu abbas dan qatadah.
Keempat: firman Allah swtوالصّبئين  dari kata shaba’a secara etimologi arti dari shaba’a adalah keluar dari satu agama kepada agama yang lain. Oleh karena itulah mengapa kalangan Arab menyebutkan orang yang masuk Islam dengan menggunakan shaba’a. dan shaabi’uuna adalah orang-orang yang keluar dari agama ahlul kitab.
Kelima: para ulama tidak ada yang berbeda pendapat bahwa ahlul kitab adalah kaum Yahudi dan Nashrani, karena kitab suci yang diturunkan kepada merekalah maka dibolehkannya menikahi para wanita dari golongan mereka dan memakan makanan yang disembelih oleh mereka.
Keenam: firman Allah swt:ءامن  artinya adalah mempercayai, dan kata من sebelumnya menempati tempat nasab sebagai pengganti dari kata الّذين diawal ayat. Huruf fa’dalam ayat ini dituliskan karena kemisteriusan kata من
Kalimat فلهم اجرهم adalah subyek kata,  sedangkan predikat kata انّ diawal ayat.
Penyebutan keimanan kepada Allah swt dan hari akhir bukan hanya pengkhususan keimanan hanya kepada Allah swt dan hari akhir saja, akan tetapi masuk juga didalamnya keimanan kepada para rasul, malaikat, seluruh kitab, serta qadha dan qodar.
Ketujuh: kata من dapat digabungkan dengan bentuk tunggal ataupun dengan bentuk jamak, maka dhomir yang kembali padanya dibolehkan juga berbentuk tunggal ataupun jamak.
Kedelapan: ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa firman Allah swt, انّ الّذين ءامنو والّذين هادواsesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi,” telah mansukh (dihapus) oleh firman Allah swt yang lain, yaitu: ومن يبتغ غير الأسلم دينا فلن يقبل منه barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)dari padanya”.(al-imran)[2]

2.      Menurut Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan
Ayat ini mula-mula menyebut orang-orang beriman, kemudian mengatakan, ”barang siapa mengimani Allah..” konteksnya memperlihatkan bahwa kata-kata yang terakhir menunujukkan iman sejati, dan memperlihatkan bahwa kata, ”mereka yang beriman”, (yang disebutkan pertama-tama) menunjukkan mereka yang menyebut diri sendiri orang-orang beriman. Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak memandang penting nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristiani atau orang-orang Shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah dan juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman semata-mata karena memberikan kepada diri sendiri. Kemuliaan dan kebahagiaan tergantung sepenuhnya pada kondisi kesejatian dan ketulusan menghamba: nama, kata sifat, sama sekali tidak membawa kebaikan kecuali kalau didukung dengan iman yang benar dan amal-amal shalih. Kaidah ini berlaku untuk semua manusia, sejak dari nabi-nabi sampai manusia yang paling bawah posisinya. Perhatikan bagaimana Allah memuji nabi-nabinya dengan segenap sifat yang indah dan istimewa kemudian mengatakan: dan jika mereka menjadikan yang lain (sebagai sekutunya) tak syak lagi apa yang mereka lakukan itu akan sia-sia bagi mereka(qs.al-an’am:88)
Juga mengambarkan status tinggi dan martabat mulia nabi suci saw dan sahabat-sahabatnya kemudian mengakhirinya dengan kata-kata ”Allah telah berjanji kepada orang-orang diantara mereka yang beriman dan beramal sholih, ampunan dan pahala yang besar (Qs.al-Fath: 29). Renungkan makna dari kata ”diantara mereka”
Ada banyak ayat dengan jelas memperlihatkan bahwa kemuliaan dan kehormatan disisi Allah bergantung pada realitas bukan pada tampilan.
Hadis: Salman al-Farisi berkata, ”aku bertanya kepada nabi saw tentang kaum dari agama yang aku peluk (sebelum masuk Islam) dan aku mengambarkan (praktik) doa dan ibadah mereka. Kemudian turun wahyu: ”sesungguhnya mereka beriman dan mereka yang yahudi….” (ad-durr al-mantsur). Menurut Thabathaba’I dengan rentetan perawi yang berbeda mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Salman.
Sebuah diskusi historis
Abu Raihan al-Biruni menulis dalam sebuah buku al-atsarul al-baqiyah: ”yang paling awal dikenal diantara mereka (yaitu orang-orang yang mengaku nabi) adalah Yudhasaf. Dia muncul di India pada akhir tahun pertama pemerintahan Tahmurth dan dia membawa naskah Persia. Dia mendakwahkan agama Shabii dan banyak orang mengikutinya. Raja-raja Bishdadian dan sebagian orang Kayanis yang tinggal di Balkh sangat menghormati matahari, bulan, bintang gemintang dan planet-planet beserta elemen-elemen lain, dan percaya bahwa obyek-obyek astronomis ini sangat sacral. Ini berlanjut sampai Zoroaster datang pada akhir tahun ke 30 pemerintahan Peshtasav. Sisa-sia kaum Shabii sekarang ada di Harran dari Harran inilah mereka mendapatkan nama baru mereka Harraniyyah. Juga dikatakan bahwa tata nama ini mengandung arti haran putra Tarukh (terah) dan saudara lelaki Ibrahim as, karena dia diduga adalah salah seorang pemimpin keagamaan mereka dan pengikut paling setianya.
“Abdul masih bin Ishaq al-Kindi menulis buku tentang kaum Shabii: ”sudah menjadi kepercayaan umum bahwa mereka suka berkurban manusia, meskipun dewasa ini mereka tidak dapat melakukannya dengan terang-terangan. Tetapi sejauh yang kami ketahui mereka adalah penganut monoteisme mereka percaya bahwa Tuhan bersih dari segala cacat, kekurangan dan keburukan, mereka mengambarkan tuhan dengan bahasa yang negatif, bukan dengan bahasa yang positif, sebagai contoh:mereka mengatakan, Allah tidak dapat didefinisikan atau tidak dapat dilihat, dia tidak zalim atau tidak penindas. Menurut mereka nama-nama indah Allah dapat digunakan untuk Allah, tetapi hanya dalam pengertian kiasan karena sifat Tuhan tidak dapat benar-benar mengambarkan realitas.
Mereka percaya bahwa manajemen segala urusan dilakukan dan dikendalikan oleh langit dan benda-benda samawi. langit dan benda-benda samawi adalah benda-benda hidup yang memiliki karekteristik seperti bicara, mendengar dan melihat. Mereka memuja cahaya dan benda-benda astronomis. Salah satu peninggalan mereka adalah kubah diatas relung di masjid umayyah, Damaskus ini adalah rumah ibadah mereka dan pada zaman itu bahkan orang Yunani dan Romawi pun mengikuti agama yang sma.kemudian tempat ini dikuasai oleh kaum Yahudi, dan kaum Yahudi mengubah tempat ini menjadi sinagog. Kemudian, kaum Kristiani mengambil alih tempat ini dan mengubahnya menjadi gereja. Setelah itu datang kaum muslim dan mereka mengubah menjadi masjid.
Kaum shabii memiliki banyak tempat ibadah, dan berhala-berhala mereka dibangun diberi beragam nama matahari dan dibentuk dengan pola-pola tertentu, seperti kuil ba’lbak didalam kuil ini ada berhala matahari, berhala qiran yang berkaitan dengan bulan dan dibangun dengan bentuk bulan seperti syal yang dipakai dikepala dan bahu. Mereka juga mengklaim bahwa ka’bah dan berhala-berhalanya adalah milik mereka bahwa orang-orang mekah menyembah berhala adalah kaum shabii. Menurut mereka berhala lat dan uzza menggambarkan saturnus dan venus. Mereka mempunyai banyak nabi dalam hierarki mereka, hermes mesir, agadhimus, walles, Pythagoras dan babaswar (kakek plato dari pihak ibu) dan banyak lainya. Sebagian dari mereka tidak makan ikan untuk mencegah berbuih, tidak juga makan unggas karena unggas selalu panas. Mereka tidak menggunakan bawang putih karena bawang putih membuat sakit kepala dan membarakan darah dan air mani (yang menjadi sumber kelangsungan ras manusia) dan mereka menjahui kacang, buncis, biji-bijian ini adalah yang pertama berkecambah di tempurung kepala manusia. Mereka menunaikan tiga shalat wajib yaitu saat matahari terbit (delapan rakaat), saat tengah hari (lima rakaat) dan pada jam ke tiga malam. Mereka sujud tiga kali dalam setiap rakaat. Mereka menunaikan dua shalat bukan wajib pada jam kedua dan jam kesembilan dari hari.
Mereka shalat dengan thaharah dan wudhu, mereka juga mandi besar setelah janabah tetapi mereka tidak menyunat anak-anak lelaki mereka karena mereka tidak mendapatkan perintah untuk melakukan sunat. Kebanyakan hukum mereka yang berkenaan dengan hukum perkawinan dan hukum pidana adalah seperti syariat Islam, sementara aturan tentang memegang mayat adalah sama dengan aturan Taurat. Mereka melakukan kurban untuk bintang gemintang,berhala-berhala mereka dan kuil-kuil, hewan-hewan kurban dibunuh oleh pendeta dan dukun yang membaca di dalamya masa depan manusia memberikan kurban dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
“Hermes kadang kala disebut idris yang dalam Taurat disebut Akhnukh. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Yudhasaf adalah Hermes. Sebagian lainnya mengatakan bahwa harraniyyah yang sekarang ini bukanlah kaum shabii yang riil tetapi mereka ini dalam buku-buku disebut sebagai penyembah berhala. Kaum shabii adalah orang-orang israil yang tetap tinggal di Babylon saat kebanyakan dari mereka kembali ke Yerusalem pada masa pemerintahan Cyrus dan Artaxerxes. Mereka condong pada keyakinan-keyakinan Zoroastrian maupun kepada agama Nebuhadnezzar. Praktek ini melahirkan suatu perbaruan yudaisme dan zoroastrianisme seperti Samaritan Syria. Kebanyakan dari mereka adalah di wasith dan daerah-daerah pedusunan Irak sekitar Ja’far dan Jamidah. Mereka mengkritik dan menentang harraniyyah beserta agama mereka. Dengan kekecualian beberapa hal sama sekali tidak ada kesamaan antara dua agama ini kaum shabii menghadap kearah kutub utara ketika shalat sedangkan kaum harraniyyah menghadap kearah kutub selatan.
Sebagian ahli kitab mengatakan bahwa Methuselah memiliki satu putra (selain lamech) namanya adalah Shabi, dan shabi ini menurunkan kaum shabii. Sebelum syariat didakwahkan dan sebelum yudhasaf datang mengikuti keyakinan samanian mereka tinggal di bagian timur dunia dan menyembah berhala. Mereka mempercayai keabadian alam semesta dan transmigrasi jiwa. Menurut mereka langit akan rubuh dalam sebuah hampaan yang tak ada ujungnya dan itulah sebabnya mengapa langit bergerak memutar-mutar.[3]
3.      Menurut Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir al-Qur’anul Madjid an-Nur
Sesunguhnya orang-orang yang mengaku beriman kepada Rasulullah (muslim) dan menerima segala kebenaran yang dibawa nabi Muhammad dari Allah swt. Semua orang yang mengikuti syariat Musa atau yang lebih popular disebut pemeluk agama yahudi karena kebanyakan pemeluknya dari keturunan Yahuza ibn Ya’kub.
Semua orang yang memeluk agama yang dibawa oleh nabi Isa as, yang bagi orang nasara (nasrani) sendiri dikenal dengan nama yesus atau orang yang membangsakan diri kepada Isa ibn maryam. Nama nasara diambil dari tempat kelahiran isa, nasirah (nazaret) tempat singgah Maryam binti Imran ibunda Isa.
Semua orang yang mengakui keesaan Allah dan mengakui sebagian nabi tetapi mereka juga berkeyakinan bahwa bintang-bintang dapat memberi pengaruh kepada kehidupan manusia. Ada juga yang berpendapat, shabiin adalah nama golongan yang mengakui syariat nabi-nabi terdahulu. Siapa saja diantara golongan-golongan tersebut (muslim, yahudi, nasrani, dan shabiin) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kebangkitan dan mengerjakan amalan-amalan saleh, dipandang benar-benar beragama dan berhak meneriman pahala.
Mereka yang beriman kepada allah,hari kebangkitan dan mengerjakan amal saleh akan memperoleh pahala atas amalannya dari Tuhan. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa saat menghadapi haru-biru hari kiamat dan tidak perlu merisaukan apa yang pernah mereka lakukan di dunia.
Yang dimaksud iman disini adalah iman sebagaimana yang dijelaskan oleh rasul Muhammad saat malaikat Jibril bertanya kepada beliau. Orang yang dipandang telah beriman sesuai dengan pengertian seperti itu adalah orang yang memeluk Islam. Orang yang tidak beriman kepada Muhammad saw dan al-quran tidaklah dinamakan mukmin.
Dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa semua orang yang memeluk agama yahudi terhadap dirinya sendiri. Jika lisannya berdusta maka anggota badan yang lain akan menuturkan yang benar. Ketika itu mereka mengatakan ”demi Allah, wahai tuhan kami, kami tidak mempersekutukanmu. ”tetapi tangan dan kaki mereka menuturkan apa yang sebenarnya dilakukan di dunia. Ketika kedustaan disangkal oleh kesaksian kaki dan tangannya sendiri, mereka pun menyesal dan malu, yang kemudian menginginkan dirinya ditanam saja di tanah seperti halnya binatang, sehingga tidak perlu menghadapi azab Allah.[4]
4.      Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Yang dimaksud dengan ”orang-orang yang beriman” ialah kaum muslimin. Dan ”al-ladziina haaduu” ialah orang-orang yahudi yang boleh jadi bermakna kembali kepada Allah dan boleh jadi bermakna bahwa mereka adalah anak-anak yahudza. Sedangkan, nashara adalah pengikut nabi Isa as. Adapun shabiin, menurut pendapat yang lebih kuat ialah golongan musyrikin Arab sebelum diutusnya nabi Muhammad saw yang berada dalam keragu-raguan terhadap tindakan kaumnya yang menyembah berhala, lalu mereka mencari akidah sendiri yang mereka sukai dan kemudian mendapat petunjuk kepada aqidah tauhid. Para ahli tafsir berkata, ”sesunguuhnya mereka itu melakukan ibadah menurut agama hanif semula, agama nabi Ibrahim, dan mereka meningglkan kata peribadatan kaumnya, hanya saja mereka tidak mendakwahi kaumnya itu. Kaum musyrikin berkata tentang mereka itu, ”sesungguhnya mereka shabuu,yakni meninggalkan agama nenek moyangnya, sebagaimana yang mereka katakana terhadap kaum muslimin sesudah itu. Karena itulah mereka disebut shabi’ah. ”pendapat ini lebih kuat dari pada pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu penyembah bintang sebagaimana disebutkan dalam beberapa tafsir.
Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal sholeh, mereka akan mendapatkan pahala disisi Tuhan-Nya, mereka tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati. Yang ditekankan disini adalah hakikat akidah bukan fanatisme golongan atau bangsa. Dan hal ini tentu saja sebelum diutusnya nabi Muhammad saw. Adapun sesudah diutusnya beliau,maka bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.[5]
5.      Menurut Ibnu Katsir dalam Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir
Setelah pada ayat-ayat terdahulu Allah menjelaskan kondisi kaum kafir, kaum munafik, yahudi, orang-orang yang menyalahi berbagai perintahnya dan melampui batas dengan melakukan perbuatan yang tidak diizinkan Allah atas mereka, juga menjelaskan siksa yang menimpa mereka, maka kini dia mengingatkan bahwa walaupun demikian ada pula umat terdahulu yang baik dan menaati berbagai perintah Allah sebagaimana yang telah diperintahkannya dan bagi mereka balasan yang baik. Demikianlah kejadian itu terus berlanjut hingga hari kiamat.
 IV.            KESIMPULAN
Ø  Menurut Imam al-Qurthubi terdapat delapan masalah:
1)      Yang disebut orang-orang yang beriman dalam ayat ini disandingkan dengan orang yahudi, nasrani dan para shabi’in.
2)      Kata yahudi yang disandarkan kepada seseorang yang bernama yahudza ini diyakini sebagai anak tertua dari nabi Ya’kub as.
3)      Penyebutan nashaaraa bisa jadi sebuah nisbat dari desa yang bernama naashirah, atau bisa juga sebuah nisbat dari desa nashraan yang berada di Syam.
4)      Shaba’a secara etimologi adalah keluar dari satu agama kepada agama yang lain. Dan shaabi’uun adalah orang-orang yang keluar dari agama ahlul kitab.
5)      Yang dinamakan ahlul kitab adalah kaum yahudi dan nashrani.
6)      Penyebutan keimanan kepada Allah swt dan hari akhir bukan hanya pengkhususan keimanan hanya kepada Allah swt dan hari akhir saja, akan tetapi masuk juga didalamnya keimanan kepada para rosul, malaikat, seluruh kitab, serta qadha dan qadar.
7)      Kata man dapat digabungkan dengan bentuk tunggal atau jamak maka dhomir yang kembali dibolehkan berbentuk tunggal ataupun jamak.
8)      Dalam surat al-baqorah dimansukh dengan surat al-imran
Ø  Tafsir al-Mizan: sumber yang dipercaya dari berbagai penulis bahwa agama shabii merupakan perbauran yudaisme dan zoroastrianisme yang di bumbui beberapa elemen keyakinan-keyakinan harraniyyah nampaknya lebih sesuai dalam konteks ini pada akhirnya ayat ini dengan jelas menyebutkan satu demi satu kelompok-kelompok yang mengikuti sebuah agama wahyu.
Ø  Tafsir Madjid an-Nur: yang dimaksud iman disini adalah iman sebagaimana yang dijelaskan oleh rasul Muhammad saat Jibril bertanya kepada beliau. Orang yang dipandang beriman sesuai dengan pengertian sesuai itu adalah orang yang memeluk Islam. Orang yang tidak beriman kepada Muhammad saw dan al-quran tidaklah dinamakan mukmin. Bahwa semua orang yang memeluk agama yahudi, jika lisanya berdusta maka anggota badan yang lain akan menuturkan yang benar.
Ø  Tafsir Fidzilalil Quran: siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal sholeh mereka akan mendapatkan pahala disisi tuhanya, maka mereka jangan merasa khawatir dan tidak bersedih hati karena yang ditekankan disini adalah hakekat akidah bukan fanatisme golongan atau bangsa.
Ø  Tafsir Ibnu Katsir: kondisi kaum kafir, munafik, yahudi, orang-orang yang menyalahi berbagai perintahnya dan melampui batas dengan melakukan perbuatan yang tidak diizinkan Allah atas mereka juga akan mendapat siksa yang menimpa mereka. Walaupun demikian ada pula umat terdahulu yang baik dan menaati berbagai perintah Allah sebagaimana yang diperintahkannya mereka akan mendapat balasan yang baik.













    V.            DAFTAR PUSTAKA
As-syuyuti,  Jalaluddin (Mustofa. H. a) . riwayat turunya ayat-ayat suci al-quran. 1993. Semarang: cv asy Syifa’.
Al-qurthubi, Syaikh Imam (Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashirul Haq). al-Jami’ Li Ahkaam al-Quran. 2010. Jakarta: Pustaka Azzam.
Thabathaba’I, Muhammad Husain Sayid (Ilyas Hasan). al-Mizan. 2010. Jakarta: Lentera.
Ash-siddoeqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Quranul Madjid an-Nur jilid 1. 2011. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Syahid,  Sayyid Quthb (As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah). Tafsir Fi Zhilalil Quran dibawah Naungan al-Quran jilid 1. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.
Ar-rifa’I, Muhammad Nasib (Syihabuddin). Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Kasir jilid 1. 1999. Jakarta: Gema Insani Press.




[1] Jalaludin as-suyuti,lubabun nuquuli fii asbabin nuzuul(drs.h.a mustofa.riwayat turunya ayat-ayat suci al-quran).semarang:cv asyifa’.1993.h.85
[2] Syaih imam al-qurthubi’(fathurrahman,ahmad hotib,nashirul haq).al-jami’ li ahkaam al-quran.Jakarta:pustaka azzam.2010.h.940
[3] Sayid Muhammad Husain thabathaba’i(ilyas hasan).al-mizan.jakarta:lentera.2010.h.379
[4] Prof.dr.teungku Muhammad hasbi ash-shiddieqy.tafsir al-quranul madjid an-nur jilid 1. Jakarta:cakrawala publishing.2011.h.81
[5] Syahid sayyid quthb,(as’ad yasin,abdul aziz salim basyarahil,muchotob hamzah).tafsir fi zhilalil quran dibawah naungan al-quran jilid 1.jakarta:gema insani press.2000.h.131

No comments:

Post a Comment